Jumat, 06 Januari 2017

Kalau Kau Tua

WHEN YOU ARE OLD

by William Butler Yeats (1865-1939)

When you are old and grey and full of sleep, 
And nodding by the fire, take down this book, 
And slowly read, and dream of the soft look 
Your eyes had once, and of their shadows deep; 

How many loved your moments of glad grace, 
And loved your beauty with love false or true, 
But one man loved the pilgrim soul in you, 
And loved the sorrows of your changing face; 

And bending down beside the glowing bars, 
Murmur, a little sadly, how Love fled 
And paced upon the mountains overhead 
And hid his face amid a crowd of stars.


Ada alasan tak bertanggungjawab mengapa saya menyukai puisi, ialah karena tak ada konsekuensi apapun setelah membaca dan menafsirinya. Sebenarnya hal ini tidak hanya berlaku untuk puisi, tapi juga karya sastra lainnya. Apakah seseorang menjadi lebih bijaksana setelah selesai membaca novel?

Bisa jadi.

Bisa juga tidak.

Puisi pun demikian.

Karya sastra tidak lain adalah hasil pemikiran manusia. Maka seperti apa pribadi penulisnya, apa nilai-nilai yang dianutnya, seperti itu pulalah kebanyakan muatan tulisannya. Jika Anda menyukainya, Anda bisa mengambilnya sebagai pelajaran. Jika tidak, Anda hanya perlu menyingkirkannya dari hadapan Anda.

Jikapun ada pelajaran, ada hikmah, ada kebijaksanaan umum yang terkandung di dalam suatu karya sastra, kita masih bisa memilih, untuk sekadar menyimpannya sebagai kata mutiara, atau mengambilnya sebagai pengajaran dalam hidup.

(Hal ini berbeda dengan Al Quran dan Hadits, jangan coba-coba menafsiri sesuka hati, dan jangan coba mengambil hukum atas dasar keduanya secara sepotong-sepotong, tanpa melihat bagian sebelum atau sesudahnya. Pula, dalam hal membaca dan mempelajari keduanya, tidak ada pilihan bagi seorang Muslim yang baik, kecuali berusaha mengamalkannya sebaik mungkin. Inilah maksud saya bilang alasan tak bertanggungjawab dalam menyukai puisi).

Tentang menafsiri puisi sesuka hati. Saya yakin, setiap puisi memiliki satu makna yang ingin disampaikan oleh penulisnya. Tapi saya sebagai pembacanya, bisa jadi akan menangkap makna tersebut atau bisa juga tidak, malah kadang memikirkan makna yang lain, tergantung latar belakang saya. Karena itu saya memutuskan untuk menafsiri puisi sesuka saya...

Seperti puisi W. B, Yeast di awal tulisan, When You are Old, entah bagaimana, ketika dulu saya pertama kali membacanya, saya merasa bahwa one man loved the pilgrim soul in you/ And loved the sorrows of your changing face adalah orangtua kita. Mungkin saja, itu karena saya sedang kangen rumah ketika itu. Meskipun tidak tepat, tapi tidak ada dosa kan menafsiri puisi sepotong-sepotong tanpa melihat kesudahan ataupun larik sebelumnya?

Dream of the soft look , Your eyes had once, and of their shadows deep,
Bayangkan tatapan lembut yang dahulu milik matamu juga, yang berlekuk begitu dalam

Saat itu saya hanya berpikir, mata saya terlihat seperti mata ayah saya. Jika ada tatatpan lembut yang harus saya kenang, itu adalah tatapan kasih kedua orangtua saya.

Saya pikir, jika nanti saya mencapai masa tua, saya harus tetap mengenang kedua orangtua saya dengan baik, cinta kasih tulus mereka, lelah yang mereka tanggung untuk kita, their shadows deep, dan penerimaan tanpa penolakan akan diri kita apa adanya, yang tidak hanya loved your moments of glad grace.

Jika nanti Tuhan mengizinkan kita mencapai usia tua, dan orang-orang tak lagi mengagumi segala keindahan yang ada pada diri kita di masa muda, Murmur, a little sadly, how Love fled/ And paced upon the mountains overhead/And hid his face amid a crowd of stars.

Mungkin puisi itu ingin menyampaikan, bahwa apa yang ada pada diri kita saat ini, seringkali tidaklah hakiki. Kita mungkin menerima banyak cinta saat ini, entah itu cinta palsu ataupun sejati....


Kalau Kau Tua


kalau kau tua, lusuh, dan pengantuk
terkantuk-kantuk di samping perapian, ambil buku ini
baca pelan-pelan dan khayalkan sebuah tatapan lembut
yang dahulu milik matamu juga, yang berlekuk begitu dalam

berapa banyak yang pernah mengagumi saat-saat ceriamu
dan mencintai kemolekanmu dengan genggam cinta murni atau palsu
namun bagi putih jiwamu hanya seorang yang mencintai
hingga ujung duka derita di wajahmu yang tak muda lagi

sambil membungkuk di samping api membara
gumamkan sedikit sedih, bagaimana cinta pun terbang
dan melayang di atas gunung tinggi jauh di sana
dan menyembunyikan mukanya di antara rimbun bintang

0 komentar:

Posting Komentar