Senin, 16 Januari 2017

Tonight, in My Mind

Saya dulu (dulu itu berarti sebelum kuliah), punya cukup waktu tiap malam untuk sendirian, atau kalau pas adek numpang tidur di kamar saya, dia udah tidur. Biasanya sebelum baca doa tidur, masih sempet mikir-mikir ngapain aja seharian, tadi saya dijahatin siapa aja, njahatin siapa aja, masih sempet dear diary gitu deh. Yah, minimal setahun satu buku agenda yang tebel abis lah...



Sekarang, buku agenda nganggur tuh di rak udah dari jaman awal kuliah sampe sekarang belum ganti-ganti. Lumrahnya mahasiswa ya kalau malam nugas, berhubung saya anak Sains, ya kalau malam nglaprak. Sekarang saya pikir, hal semacam itu (perubahan dulu-sekarang), tidak perlulah disedihkan. Namanya juga kehidupan, harus ada perubahan, dan itu keniscayaan. Syukuri aja.

Hari-hari ini, lumayan banyak waktu luang, bikin lalai si (kayak misalnya nonton film lawas macam The Parents Trap atau Braveheart, jadul banget ya?). Sebenarnya tidak luang juga, bisa saja si nyicil baca jurnal buat Seminar semester besok, atau ngebanyakin tilawah dan murajaah. Yah, bisa saja si... Waktu luang itu, tergantung bagaimana kita mengelolanya.

Tapi ceritanya malam ini saya sedang meluangkan waktu buat bikin catatan tidak jelas ini. Mungkin ingin sedikit kayak Truman Capote;

"Aku ingin menulis tentang kehidupanku sendiri, tentang makna menjadi anak-anak di Selatan...tentang Jenny, Sook, Bud, dan kehidupan yang kami jalani di rumah besar itu. Tentang berlayar di kapal-kapal uap besar tempat ayahku bekerja. Tentang menari tap diiringi Satchmo dan bandnya. Tentang seluruh masa itu."
Yah, sepekan ini banyak berinteraksi dengan orang-orang dari masa lalu. 

Sebelum UAS dan demisioner dari JMMB, lembaga saya itu sempat mengadakan talkshow kemuslimahan. Saya ingat salah satu pembicaranya menyampaikan kalimat kesukaannya, everything happens for a reason, termasuk setiap pertemuan pasti ada alasannya, ada hikmahnya, mungkin perantara juga untuk sesuatu yang lebih besar. Kalau ustadz saya yang ngajar materi Aqidah Thahawiyah menyampaikan, "Setiap orang akan dimudahkan jalannya menuju takdirnya." Saya mikirin orang-orang yang saya temui sepanjang jalan hidup saya. Banyak banget... ada yang masih berinteraksi sampai sekarang, ada yang sudah di mana hello kabarmu bagaimana. Ada yang kita berpisah dengan hati patah, ada yang bahkan tidak say goodbye. Ya sudahlah, emang mau bagaimana?

Hal termenyedihkan tentang orang-orang yang saya temui di sepanjang jalan itu, bukan ketika saya lepas kontak dengan mereka, saya tidak bisa ketemu mereka padahal saya kangen mereka. Bukan itu. Tetapi, ketika saya menemukan mereka tidak seperti mereka yang dulu saya kenal. Mungkin karena saya belum bisa benar-benar menerima perubahan yak?

Misalnya begini, anak-anak kecil biasanya terbagi dua kelompok; nakal dan tidak nakal. Dikatakan nakal kalau mereka suka menggangu teman dan ngomong kata-kata kasar. Lalu kelompok anak tidak nakal akan bilang, "Kok kamu ngomongnya gitu si, ga sopan tau." atau "aku bilangin bapakmu lho kamu ngomong ga sopan, kamu nakal." Itulah standar kita. Kemudian, ketika kita tumbuh dan bertemu lebih banyak orang, lebih banyak pelajaran, tiba-tiba eksistensi menjadi penting, maka di komunitas apa kamu tumbuh, begitulah pola pikirmu akan terbentuk. Lalu saya menemukan orang-orang berkata kasar dengan mudahnya. Halo, my dear friends, kamu dulu imut banget lho....

Saya mengingat dengan baik posisi duduk murid-murid kelas VI B SDN Ciklapa 02 Tahun Pelajaran 2007/2008, saya juga mengingat sebagian besar anak-anak kelas VI A. Saya suka mengingat kalian yang dulu, keluguan dan kepolosan bocah 12an tahun, olok-olok dan perkelahian yang seru. Sekarang saya masih sangat bocah, kalian tahu kehidupan kampus sebenarnya tidak jauh berbeda dengan kehidupan sekolah, ini sangat jauh berbeda dengan kalian yang mungkin sudah bekerja atau menikah. jadi, saya yang sekarang juga masih kekanak-kanakan. How do you do, gengs?






Saya ingat sepupu-sepupu saya yang dulu dengan bebasnya saling mengolok dan saling bercanda, sekarang...terimakasih telah menjadikan saya tante untuk 13 keponakan, kalau saya tidak salah hitung? Betapa menyebalkannya saat Abang-abang saya yang teramat baik, masih memanggil saya dengan julukan-julukan aneh dan saya harus memanggil Mas, demi menghormati istri mereka. Itu dulu saat saya masih SMP, sekarang kami bisa saling menghormati, mungkin abang-abang saya sadar saya juga sudah menua... Yah, kadang saya ingat Joni yang mengenalkan saya sebagai Adeknya (tanpa bilang saya sepupunya) saat saya datang mengunjunginya ke perkemahan, mengajak menyusuri saluran irigasi dan...itu kenangan yang cukup baik bagi saya. Saya berdoa Attar, keponakanku dari Joni, akan tumbuh membanggakan (Mamaku setuju saat aku bilang Attar terlihat aktif dan cerdas).


Salah satu Abang saya mengambilkan foto ini pada Idul Fitri 2008, dia menyimpan foto ini dalam dompetnya (Saya tersanjung, Mas) sebelum akhirnya foto ini saya minta. Sekarang abang saya ini adalah Bapak dari dua anak.


Yang terbaru, dua adikku Vio (kandung) dan Rio (sepupu). Rasanya baru kemarin saat mereka masih menangis untuk hal-hal kecil smeacam jajan dan mainan, tapi sekarang mereka sudah memakai seragam putih abu-abu. Siapa yang tahu adik-adikku yang tumbuh dengan banyak kemanjaan itu sekarang menjalani takdir sekolah di tempat yang jauh. Semoga kalian tidak hanya menua tapi juga menajdi dewasa, salah satunya dengan menajdi dua saudara yang akur. Kalian tahu? Ketika kalian bayi orang-orang sangat suka dengan nama kalian, Rio & Vio, terdengar seperti anak kembar, sama-sam putih dan sama-sama gendut. Dulu.


Vio & Rio, aku di tengah mesti jongkok buat nyamain tinggi badan mereka.
Ini saat pertama kali Rio ke Pantai Pangandaran.




Mereka sudah gede sekarang.

Yah, saya juga mengingat dengan baik masa-masa SMP saya; sedikit memalukan saya bilang. Bagian mana? Banyak. Yang terbaik dari masa  SMP saya adalah saya berteman baik dengan banyak orang. Yang terburuk? Yang pasti bukan bagian saat Pak Dede bilang kelas XI D adalah kelas Kuburan, mungkin karena anak-anaknya kayak (maaf) setan, bandelnya luarbiasa. Sekarang saya pikir kelas XI D adalah anugerah. Dan seperti yang pernah saya bilang, microsd hilang, tidak ada yang tersisa dari kenangan masa SMP.

Bagaimana dengan masa SMA? Ini masa yang paling lekat. Hmmm...saya pikir kita tidak lagi begitu polos. Kita mulai mengenal bahwa hidup memerlukan sebuah prinsip, suatu idealisme. Menyenangkan belajar menemukan idealisme itu bersama kalian. Ketika kita masih belum matang, saat pengumuman lulus itu datang... di tanah rantau, kita harusnya memproses diri semakin matang. tapi kadang, dinginnya kenangan dan ketidaksiapan akan perubahan dan ketiadaan orang yang menolong kita, membuat kita sedikit berbeda dari pribadi kita yang dulu, bukan semakin matang, tapi semakin bimbang.

Wali kelas kami semasa SMA. Tebak yang mana?


Like Students Like Teacher


Ini rihlahnya anak-anak Rohis

Ini akhawat Rohis pasca Rujak Party, sementara ikhwannya, nun jauh di seberang kamera sedang manjat-manjat atap Masjid, bebersih dan mbenerin Corong Toa.

Aku bertanya-tanya bagaimana kabar Idma, Halimah, Tomi (meski namanya tidak ada Tomi-nya). Aku masih ingat perkenalan yang konyol di Bandung.
"Tulisin cocard-ku sekalian, Mi." katanya
"Tomi siapa namamu?'
"M. Erlangga aja" jawabnya
"Hah?" saya bingung dan Halimah ketawa.
"Jadi namamu siapa?"
"Tomi."

Apakah kalian adalah salah satu, salah tiga, orang yang hanya mampir dalam hidup saya?



Saya menyedihkan kamera kami yang jelek

Seperti sebagian besar teman-teman saya saat SD. Saya pulang pekan lalu, lalu bersepeda di pagi hari melalui jalan yang biasa saya lewati saat SD, berharap bertemu salah satu dari kalian, tapi tidak ada satupun yang saya jumpai. Ke mana kalian pagi itu?

Kadang saya heran, kita bisa saja memulai sesuatu bersama pada titik yang sama, lalu kita menggambar suatu garis dalam hidup kita, dan... kita memiliki satu titik di ujung garis hidup kita yang sangat berbeda. Mungkin kita belum bisa melihat ujungnya, karena sekarang kita masih menggambar garis itu; saya di Jogja, kamu di Cilacap, dia di Jakarta, mereka di mana-mana, saya sedang mengetik, kamu sedang belajar, dia sedang nonton, mereka mungkin tilawah atau masih chattingan malam-malam?

Kita menjalani takdir yang berbeda-beda, tidak ada yang harus dikagumi dengan sangat ataupun dikasihani dengan amat, toh kita memulai di awal yang sama dan nantinya titik kita hanya berakhir di salah satu dari dua tempat; surga atau neraka.

Saya berharap sekali kita semua, saya dan kalian yang saya ingat pernah bertemu kalian di suatu tempat pada suatu masa, menjalani hidup kita dengan baik dan bermartabat.


Dan, inilah (sedikit potongan) kehidupan yang saya jalani sekarang

0 komentar:

Posting Komentar