Jumat, 08 September 2017

Katarsis, Kontemplasi, dan Ahlullah

Pada bulan Syawal tahun lalu, seorang sahabat lama berkunjung ke rumah. Hari mulai petang ketika aku menyadari aku mendengarkan ia sedari tadi. Usai shalat maghrib, ia pamit pulang, tetapi di halaman, sempat ia berkata, "Katarsis. Aku mungkin hanya sedang berkatarsis. Kamu tidak keberatan kan?"



Dan aku melepas kepulangannya dengan perasaan yang berbeda. Pada satu masa, aku memiliki Kafilah Pelangi, ia adalah satu di antara mereka. Pada masanya, Allah mempertemukan kami dengan cara-cara yang indah. Pada masanya, kami berbagi keletihan bersama, berbagi tawa bersama, berbagi tangis, berbagi cerita, berbagi sumberdaya dan sumberdana, berbagi cat poster, juga berbagi makanan dan minuman.... Lalu pada saatnya, Allah menghendaki kami menempuh jalan cerita di kampus yang berbeda.

Sore itu terakhir kali aku melihatnya hingga hari ini. Ketika bayangannya menghilang di kelokan jalan, aku menyadari betapa aku merindukannya, merindukan Kafilah Pelangi, merindukan masa-masa SMA-kami. Ketika ia bicara tentang katarsis, aku menyadari betapa banyak yang ia tanggung, betapa banyak yang ingin ia sampaikan--lebih banyak dari yang sudah ia ceritakan sepanjang sore itu--tapi harus ia tahan. Aku bukan lagi seseorang yang bisa ia jadikan tempat mencurahkan segala hal. Aku berdoa Allah mengokohkan bahunya, dan menganugerahkan semakin banyak kedewasaan dan kebijaksanaan dalam dirinya. Aku hanya sempat bilang,"Ya, tidak mengapa."

Katarsis. Kadang kita hanya perlu menemukan seseorang untuk mendengarkan. Kadang kita merasa lebih baik hanya dengan menceritakan, meski tanpa menemukan jalan keluar.

Tapi tidak selalu begitu...

Kadang kala, kita perlu sejenak merenung dan berpikir dengan sungguh-sungguh. Kontemplasi. Seorang adik tingkat mengatakan hal itu. Bukan merenung untuk melakukan pengabaian, tetapi merenung untuk menemukan jalan keluar, untuk menyiapkan diri, untuk menguatkan jiwa. Aku harap adikku tidak terlampau lama berkontemplasi.

Dan, seseorang bercerita tentang keluarga Allah.

Aku mengingat, ketika di satu sore yang berdebu, seseorang membantuku menyeberang jalan dan sambil menemani menunggu bus datang, ia berbisik, "Hanya beberapa bulan lagi sampai kalian memasuki dunia kampus. Ke depan, tanggungjawab akan semakin banyak, aktivitas semakin padat, sedangkan waktu manusia akan tetap 24 jam sehari. Keletihan, kejenuhan, sampai batas mana kita sanggup menahannya? Jaga Al Quran baik-baik karena di sanalah Allah berbicara dengan hamba-Nya. Kalau bukan Allah yang memampukan, pastikan kita tidak akan mampu menanggung sesuatupun."






0 komentar:

Posting Komentar