"Kau simpan gantungan kemudi ini, aku akan simpan gantungan jangkarnya."
"Kenapa aku yang kemudi? Kenapa bukan yang jangkar?"
"Dasar..."
"Aku percaya kau akan selalu mengarahkanku kepada kebaikan. Aku sendiri tidak yakin akan bisa menjaga kapalku untuk selalu berada di jalur yang benar, karena itu aku memercayakanmu untuk memegang kemudinya."
"Kau yakin aku sebaik itu?"
"Sejauh ini, ya, aku percaya."
"Baiklah, aku ambil kemudinya. Seutuhnya akulah yang menentukan ke mana kapal ini berlayar."
"Tapi berjanjilah, kapanpun aku ingin menurunkan jangkar ini, kau akan menemaniku. Aku takut pelayaran ini akan sangat melelahkan. Kau mungkin cukup kuat, tapi bagaimana denganku? Berjanjilah, setiap kali aku lelah dan ingin berlabuh, kau akan sabar menemaniku."
"Dan kau harus janji, kau akan menurut dan tidak protes arah manapun yang kupilih."
Tapi aku tersadar, dalam kehidupan ini, kita adalah dua kapal yang berbeda. Kita harus memiliki kemudi kita masing-masing, juga jangkar kita masing-masing. Kau bukan robot yang bisa kusetir sesuka hatiku, dan aku bukan boneka yang bisa kau ajak bermain kapanpun kau mau. Kau akan muak dengan kata-kata dan tingkahku dan aku bosan meladenimu. Padahal bukan itu yang kita inginkan.
Kau lebih tahu jalur mana yang baik untukmu, dan aku lebih tahu pelabuhan mana yang mesti kusinggahi. Pada akhirnya, yang mesti kita lakukan adalah jangan pernah berpaling dari jalan yang kini tengah kita lalui, dan tak masalah dengan siapa kita berdiri.
Semoga dalam pelayaran kita yang singkat ini, kita akan sampai pada tujuan yang sama, berdiri di tempat yang sama, dan aku harap tempat itu bukan lagi London Bridge apalagi Emirates Stadium.
Aku harap tempat itu adalah....
Menara cahaya di surga-Nya.
Amin.
"Kau tahu kenapa aku menggantungkannya di sini?"
"Kenapa?"
"Supaya aku bisa memegangnya setiap hari, melihatnya setiap hari, mengingatmu setiap hari, dan aku harap tiap kali aku mengingatmu, aku akan ingat untuk terus mendoakanmu. Aku mohon, lakukan hal yang sama untukku, Sam."
0 komentar:
Posting Komentar