KABUL
(Translated by Dr. Josephine Davis)
(Translated by Dr. Josephine Davis)
Ah!
How beautiful is Kabul encircled by her arid mountains
And Rose, of the trails of thorns she envies
Her gusts of powdered soil, slightly sting my eyes
But I love her, for knowing and loving are born of this same dust
My song exhalts her dazzling tulips
And at the beauty of her trees, I blush
How sparkling the water flows from Pul-I-Bastaan!
May Allah protect such beauty from the evil eye of man!
Khizr chose the path to Kabul in order to reach Paradise
For her mountains brought him close to the delights of heaven
From the fort with sprawling walls, A Dragon of protection
Each stone is there more precious than the treasure of Shayagan
Every street of Kabul is enthralling to the eye
Through the bazaars, caravans of Egypt pass
One could not count the moons that shimmer on her roofs
And the thousand splendid suns that hide behind her walls
Her laughter of mornings has the gaiety of flowers
Her nights of darkness, the reflections of lustrous hair
Her melodious nightingales, with passion sing their songs
Ardent tunes, as leaves enflamed, cascading from their throats
And I, I sing in the gardens of Jahanara, of Sharbara
And even the trumpets of heaven envy their green pastures
Saib-e-Tabrizi 17th Century
And Rose, of the trails of thorns she envies
Her gusts of powdered soil, slightly sting my eyes
But I love her, for knowing and loving are born of this same dust
My song exhalts her dazzling tulips
And at the beauty of her trees, I blush
How sparkling the water flows from Pul-I-Bastaan!
May Allah protect such beauty from the evil eye of man!
Khizr chose the path to Kabul in order to reach Paradise
For her mountains brought him close to the delights of heaven
From the fort with sprawling walls, A Dragon of protection
Each stone is there more precious than the treasure of Shayagan
Every street of Kabul is enthralling to the eye
Through the bazaars, caravans of Egypt pass
One could not count the moons that shimmer on her roofs
And the thousand splendid suns that hide behind her walls
Her laughter of mornings has the gaiety of flowers
Her nights of darkness, the reflections of lustrous hair
Her melodious nightingales, with passion sing their songs
Ardent tunes, as leaves enflamed, cascading from their throats
And I, I sing in the gardens of Jahanara, of Sharbara
And even the trumpets of heaven envy their green pastures
Saib-e-Tabrizi 17th Century
Siapapun yang pernah membaca novel Seribu Mentari Surga karya Kholed Hosseini pasti tidak asing pada sebagian baris puisi di atas. Judul novel tersebut memang terilhami dari puisi ini. Aku sendiri tertarik pada puisi "Kabul" setelah membaca novel Seribu Mentari Surga. Aku bilang ini puisi yang cantik. Sangat cantik. Salah satu puisi yang paling kusuka.
Lima tahun lalu, Mama tertawa saat aku menunjukkan bagian encircled by her arid mountains. Aku juga ikut tertawa. Tidak ada puisi yang memuji alam Indonesia yang berbunyi gunung gersang ataupun jalan tanah berdebu. Semua bicara tentang alam menghijau, laut biru, tanah surga, yah... hal-hal semacam itu. Tapi, sepertinya aku mengerti, for knowing and loving are born of this same dust.
![]() |
Pagi berkabut musim kemarau |
![]() |
Senja menjelang musim tanam |
Seperti apapun Kampung Halaman kita, kita mencintainya. Aku memikirkan masa-masa SMP-ku, saat teman-teman suka membercandai memanggilku dengan plesetan nama daerahku; banjir, jembatan gantung, dan apapun yang bisa digunakan untuk mengejekku. Bahkan jika sekarang nongkrong bersama teman-teman SMA, kami masih suka saling menjelek-jelekkan daerah satu sama lain. Sebaliknya, membagus-baguskan daerah masing-masing. Memikirkan ulah kekanak-kanakan kami itu, aku menyadari, masing-masing kami mencintai kampung halaman kami.
Aku sendiri. Selalu suka rumahku. Kampung halamanku. Tempatku dilahirkan. Tempatku tumbuh dan diasuh dalam cinta keluargaku. Tanahnya adalah yang pertama kuinjak. Udaranya adalah yang pertama kuhirup. Terlalu banyak pengajaran yang kuterima di sini. Terlalu banyak hal pertama kulakukan di sini. Dan segala yang pertama selalu istimewa. Meski Mama selalu bilang, dunia ini luas, dan di manapun kamu, itu adalah bumi Allah. Tapi, bahkan Rasulullah saw pun merindukan Mekkah....
Sejauh apapun tempatku kini berdiri. Aku selalu suka Kampung Halamanku. Aku bersyukur, karena aku masih bisa pulang mengunjunginya. Aku tidak tahu bagaimana di wilayah konflik sana, kampung halaman mereka tak pernah lagi sama seperti dulu.
"maka, nikmat Tuhanmu yang mana lagi yang kamu dustakan?"
Ah! Betapa cantiknya Kabul
Dikelilingi oleh gunung-gunung gersang
Dan mawar, dari jalan-jalan kecil dari duri ia iri
Hembusan tanah berdebunya
sedikit menyengat mataku
Akan tetapi. aku mencintainya
karena mengenal dan mencintai terlahir dari debu yng sama ini
Sajakku menyanjung tulip-tulipnya yang memesona
Dan pada keindahan pepohonan, aku malu
Bagaimana gemericik air mengalir dari Pul-i-Bastaan!
Semoga Allah menjaga keindahannya
dari mata jahat manusia
Khizr memilih jalan setapak ke Kabul untuk mencapai surga
Karena gunung-gunung membawanya mendekat pada kebahagiaan surga
Dari benteng dengan dinding yng luas
Seekor naga perlindungan
Tiap batu adalah lebih berharga dari kekayaan Shayagan
Setiap jalan Kabul memikat mata
Sepanjang bazar-bazar
karavan-karavan Mesir yang melintas
Tak seorangpun dapat menghitung cahaya bulan
yang berpendar di atas atap
Atau pun seribu mentari surga
yang bersembunyi di balik dindingnya
Tawa paginya membawa keceriaan bunga-bunga
Malam-malam gelapnya
Bagai pantulan rambut yang berkilauan
Merdunya burung bul-bul
dengan hasrat menyenandungkan lagu mereka
Nada-nada yang teratur
bagaikan dedaunan yang bergelora
mengalun dari tenggorokan mereka
Dan aku, aku bersenandung di kebun-kebun
Jahanara, Sharbara
Dan bahkan terompet-terompet surga
mencemburui padang rumput nan hijau mereka
0 komentar:
Posting Komentar