Kamis, 28 Juli 2016

Great Perhaps


Aku mulai membaca novel saat kelas dua SD. Ada cukup banyak novel anak-anak di rumah dan di perpustakaan sekolah, kebanyakan terbitan Balai Pustaka dengan latar cerita tahun 1980an, maka sebagian besar cerita yang kubaca mengisahkan tentang pentingnya bersekolah, jasa seorang guru, semangat pembangunan, dan transmigrasi. Ada beberapa yang mengambil latar menjelang Indonesia merdeka dengan tokoh anak-anak yang ikut serta membantu perjuangan, semampu dan sekuat yang mereka bisa.


Novel pertama yang kubaca adalah sebuah buku kumal yang tak lagi memiliki sampul (aku tak pernah tahu judul buku itu) yang menceritakan kehidupan seorang anak kelas lima SD yang sangat layak diteladani bernama Ari, dan burung merpati hutan kesayangannya, Jambul. Novel Si Jambul (aku sendiri yang akhirnya memberi judul) hanya setebal kurang lebih 120 halaman, termasuk satu halaman ilustrasi untuk setiap bab-nya, dan aku menyelesaikannya dalam waktu hampir dua pekan. Kupikir, itu lumayan untuk anak kelas dua.

Ketika kelas tiga, aku mulai membaca cerita pendek di tabloid wanita langganan ibuku yang banyak memuat tulisan sastrawan nasional, macam Putu Wijaya dan Dorothea Rosa Herliani (ibuku suka mengumpulkan buku, koran, majalah, dan tabloid, jadi bacaanku juga banyak berasal dari tahun 90an, tapi banjir tahun 2005 membuat kami kehilangan banyak sekali koleksi) dan majalah Islami langganan keluarga kami. Ketika aku kelas lima, kakakku mulai membawa komik dan novel remaja. Meskipun aku merasa aneh dengan gaya bahasa dan ceritanya, aku doyan juga membacanya.

Ketika SMP, aku meninggalkan novel-novel dan cerpen-cerpen remaja cengeng, justru ketika teman-temanku mulai membacanya. Sebagai gantinya, aku mulai membaca novel sungguhan baik terjemahan maupun bukan.

Ketika SMA, aku sudah tidak doyan pada novel drama remaja. Akhirnya, kini, setelah duduk di bangku kuliah, di mana tugas rasanya seperti guyuran air hujan, aku membaca novel, yahh setidaknya satu untuk satu semester, aku lebih memilih novel-novel klasik.

Lalu suatu hari, aku meminjamkan flashdisk pada Eci, salah satu teman di kampus, dan dia mengembalikannya dengan tambahan beberapa film di dalamnya. Jam setengah dua belas malam adalah waktu rawan mengantuk, biasanya aku minum apapun yang manis dan memutar beberapa video atau film (yang biasanya aku skip di banyak adegan, maka film yang harusnya berdurasi 1-2 jam bisa aku selesaikan dalam 10-20 menit) untuk mengusir ngantuk. Jadi aku akan bisa bertahan mengerjakan tugas. Saat itulah, suatu malam, aku tertarik menonton Paper Towns yang diangkat dari novel dengan judul sama karya John Green. Yahh, memang bukan film baru, tapi bagaimana lagi, aku baru nonton. Dan rasanya....senang. Mungkin aku mulai bosan dengan rutinitas kehidupanku di tanah rantau ini. Ada keajegan yang tidak bisa aku jelaskan, yang jelas-jelas merupakan sesuatu yang tidak aku sukai.

Jadi aku melanggar batas yang aku buat sendiri dan penasaran dengan cerita drama remaja tulisan John Green. Ada banyak review bagus di internet, jadi aku mengunduh file pdf Paper Towns dan Looking for Alaska (aku merasa terlalu sayang mengambil jatah makanku untuk aku tukar dengan novel).

Lalu apa yang aku dapat? Yahh, benar-benar melodrama remaja Amerika. Menjijikkan? Bagiku, ya.

Aku harus tetap membandingkannya dengan ajaran agamaku dan budaya timur masyarakatku.

Ada dua bagian utama novel Looking for Alaska, yaitu Sebelum dan Sesudah yang keduanya dibatasi oleh Sesuatu yang Terjadi Malam Itu. Ketika Sesuatu itu akhirnya terjadi, aku pikir aku tahu ke mana akhir dari cerita ini. Melihat dari judulnya, aku hampir menyimpulkan John Green terlalu membosankan, Mencari Alaska. Itu hampir persis Paper Towns. Dalam Paper Towns, Quentine mencari sahabat masa kecilnya, Margo, yang menghilang, tapi sekaligus meninggalkan petunjuk keberadaannya. Q pun mengikuti petunjuk tersebut bersama sohib-sohibnya, melakukan perjalan 1200 mil dan menemukan Margo di Paper Town*; Agloe.

Tapi aku salah. Ketika aku membaca semakin ke belakang, aku mulai sadar bahwa Sesuatu itu benar-benar terjadi, dan mencari Alaska adalah cerita tentang upaya sekelompok sahabat untuk mencari jalan berpikir seorang Alaska, sahabat mereka yang begitu impulsif. Lalu suatu malam mengalami kecelakaan (yang ternyata bukan ke-ce-la-ka-an) dan meninggal. Dan peristiwa itu membuat dunia mereka memiliki kata Sebelum dan Sesudah. Mencari Alaska, bagiku hanya sebuah kesimpulan bahwa kita akhirnya tak pernah benar-benar memahami seseorang.

"Kau tidak akan pernah bisa memahami seseorang hingga kau melihat segala sesuatu dari sudut pandangnya.... hingga kau menyusup ke balik kulitnya dan menjalani hidup dengan caranya."
(Harper Lee, To Kill A Mockingbird)

Sebagian misteri terungkap, lebih banyak tetap menjadi misteri. Jika kita mampu mengambil hikmah dari setiap pelajaran hidup, kita semakin dekat pada Great Perhaps, Kemungkinan Besar.

Salah satu bagian yang kusuka dari sebuah cerita adalah ketika tokoh utamanya berpikir tentang masa lalunya. Flashback. Dan tersenyum mengenangnya. Seperti tokoh Q dalam Paper Towns yang, ia menjalani hidup dengan baik, menjadi anak baik-baik, lalu suatu hari ditarik ke dalam petualangan seru, melakukan hal-hal gila dengan sahabat-sahabatnya, menempuh perjalanan 1200 mil dalam rangka menemukan first partner in crime-nya, Margo. Seperti Pudge, yang sekali lagi anak baik-baik, lalu bertemu komplotan Alaska, Colonel, dan Takumi. Melakukan banyak sekali kejahilan. Melanggar peraturan sekolah. Dan akhir cerita keduanya hampir sama. Mereka menemukan sesuatu. Belajar memaknai hidup. Masa SMA yang penuh hikmah dan kenangan. Aku pikir, itu membuat iri orang-orang baik yang melalui masa SMA nya dengan menempuh jalan lurus. Flat.

Tapi aku memiliki pertanyaan, mengapa harus menjadi nakal? Mengapa harus melakukan kekacauan untuk menjadi bahagia, untuk membuat hari kita lebih berwarna, untuk menciptakan kenangan manis, untuk menemukan hikmah dan memeroleh makna hidup?

Aku bilang aku merasa senang saat menonton Paper Towns dan ikut tersenyum saat membaca kejahilan Alaska dan komplotannya. Mengapa? Karena aku memiliki masa SMA yang menyenangkan, tapi aku tidak perlu melanggar batas untuk merasakan bahagia ataupun menemukan Great Perhaps. Aku bisa merasakan rasa senang dan puas, perasaan bahwa, masya Allah, apa yang barusan kita alami, apa yang tadi kita lakukan? Jadi, mengapa harus mengacau jika bahkan melakukan kebaikan belum selalu bisa mengantarkanmu pada kebijaksanaan?

Aku penasaran, bagaimana jika semua orang berpikir bahwa melakukan pelanggaran adalah bentuk keberanian untuk melawan zona nyaman? Bagaimana jika semua orang berpikir bahwa mengacau adalah hal keren dan perlu mendapat pemakluman?

Tapi, semoga saja, para pembaca ataupun penonton film cerita-cerita John Green menyadari bahwa Pudge menemukan Kemungkinan Besar itu setelah melalui perenungan, bukan kejahilan dan Quentine mendapatkan keberanian dan makna kehidupan setelah melakukan safar bersama sahabat-sahabatnya, bukan setelah membantu aksi balas dendam Margo.

Karena kebijaksanaan tidak lahir dari permainan.

"Sesungguhnya pada penciptaan langit dan bumi, pergantian malam dan siang, kapal yang berlayar di laut dengan (muatan) yang bermanfaat bagi manusia, apa yang diturunkan Allah dari langit berupa air, lalu dengan itu dihidupkan-Nya bumi setelah mati (kering), dan Dia tebarkan di dalamnya bermacam-macam binatang, dan perkisaran angin dan awan yang dikendalikan antara langit dan bumi, (semua itu sungguh), merupakan tanda-tanda (kebesaran Allah) bagi orang-orang yang mengerti."
(QS. Al Baqarah: 164)

"...bertebaranlah kamu di bumi,carilah karunia Allah dan ingatlah Allah banyak-banyak agar kamu beruntung."
(QS. Al Jumuah: 10)


Melakukan perenungan, melakukan perjalanan, mencari pengalaman hidup, tapi jangan melanggar batas dan bersikap serta berbuat berlebihan.....

Wallahua'lam

*Paper Town adalah istilah yang digunkan untuk menyebut 'kota palsu' yang pada jaman dulu dibuat oleh para pembuat peta, supaya karya mereka tidak dibajak. Jadi, pada sebuah peta biasanya ada satu kota yang dalam dunia  nyata sebenarnya tidak ada.

0 komentar:

Posting Komentar