Sabtu, 02 Januari 2021

Memaknai Puisi Tribute to Mother Karya John Greenleaf Whittier

Sebelum masuk ke pembahasan soal puisi di judul tulisan ini, ada satu kutipan yang menarik:

Photographs are just light and time..
-John Green, Turtles All the Way Down-
Tribute to Mother
by John Greenleaf Whittier 

A picture memory brings to me;
I look across the years and see
Myself beside my mother’s knee.
I feel her gentle hand restrain
My selfish mood, and know again
A child’s blind sense of wrong and pain.
But wiser now, a man gray grown,
My childhood’s needs are better known.
My mother’s chastening love I own.


Persembahan untuk Ibu
oleh John Greenleaf Whittier

Sebuah foto membawa kenangan padaku;
Melalui tahun-tahun dan terlihatlah itu
Diriku di samping lutut ibu.
Kurasakan tangannya yang kokoh menahan
Tingkah egoisku, dan pula menyadarkan
Ketidaktahuan bocah polos akan keburukan dan kesakitan.
Tapi kini aku, seorang lelaki kelabu tumbuh lebih bijak,
Lebih tahu kebutuhanku semasa kanak.
Cinta Ibu yang mendidik, kumiliki dengan layak.

Saya berusaha menerjemahkan puisi Whittier sesuai dengan struktur aslinya; stanza triplet, sebuah sajak tiga bait dengan rima berulang tiga baris. Tidak begitu tepat, menyadarkan saya, sekali lagi, sangat sulit menjadi seorang penerjemah.

Saya tidak memiliki referensi akademik atau profesional tentang makna puisi di atas. Sebagaimana catatan saya yang lain mengenai puisi, kali ini juga hanya akan tentang pemaknaan saya sendiri.

Pada bait pertama, 'aku' melihat sebuah foto, gambar dirinya kecil, di samping lutut ibunya.

Hanya dengan satu baris itu, saya langsung jatuh cinta dengan puisi ini. Ada kenangan yang mirip. Momen ketika pulang ke rumah dan membongkar album lama. Foto-foto masa kecil ketika baru belajar berjalan. Foto-foto duduk di samping ibu atau di atas pangkuannya. Ada perasaan seperti ditarik ke masa itu, melalui tahun-tahun yang berlalu. Bahkan melampaui ingatan saya sendiri. Saya tidak ingat momen yang terabadikan menjadi gambar-gambar itu, tapi Mama akan menceritakannya sambil bersama-sama memandangi foto satu demi satu.

Pada bait kedua, 'aku' seolah kembali ke masa itu, ditandai dengan penggunaan kata feel yang menunjukan present tense. 'Aku' merasakan kembali tangan ibunya yang mampu menahan dan mengendalikan dirinya.

Her gentle hand  mungkin lebih dari sekadar tangan sebagaimana harfiahnya. Ia juga bermakna kekuatan, sekaligus kasih sayang seorang ibu. Saya juga menyukai kata gentle di sana. Ibu, seorang perempuan, lemah lembut, tetapi juga kuat ketika berbicara tentang anak. Bukankah ibu kita sangat luar biasa? Madrasah pertama kita; Ibu. Tangannya begitu kuat menggendong, menimang, menitah.... Ah! kalau kita tak punya kenangan susah payahnya ibu semasa mengasuh kita, lihat saja para ibu sebelah rumah. Lihat bagaimana repotnya mengasuh bayi-bayi dan balita mereka. Yang moody, yang manja, yang hanya tahu menangis, tak memahami kesusahan orang tua. Itulah perasaaan yang muncul ketika membaca bait kedua.

Lalu bait terakhir, 'aku' kembali ke masa kini. Dirinya kini telah menjadi seorang lelaki dewasa, lelaki tua bahkan. Ia, dibandingkan dirinya di dalam foto, telah menjadi lebih bijaksana. Usia telah memberinya pengalaman dan pemahaman. Ia dapat memahami besarnya cinta ibunya. Ia dalam foto yang hanya tahu enak sendiri, tidak paham apa yang sesungguhnya dibutuhkanya. Tetapi ibu, ibu memahami semua.

Dan saat itulah, my mother's chastening love I own. Cinta yang chastening. Cinta yang tidak hanya soal menghujani kita dengan peluk cium dan kata-kata manis, tapi juga menegur ketika kita salah, menasihati ketika kita tak tahu arah, mengajari kita tentang baik dan buruk, benar dan salah. Itulah chastening love. 'Aku' telah memiliki hal itu dari ibunya.

Begitu juga saya.

Saya telah mendapatkan yang selayaknya dari seorang Ibu. Seandainya pun saya tak bisa memberikan yang selayaknya seorang anak kepada ibunya, semoga Allah memberikannya, di dunia dan di akhirat.


0 komentar:

Posting Komentar