![]() |
"Tiada bencana yang menimpa di bumi dan tidak (pula) pada diri kalian sendiri kecuali telah tertulis pada Kitab (Lauh Mahfuzh) sebelum Kami menciptakannya. Sesungguhnya yang demikian itu adalah mudah bagi Allah. (Yang demikian itu ) supaya kamu tidak bersedih hati terhadap apa yang luput darimu dan jangan pula terlalu gembira terhadap apa yang Dia berikan kepadamu. Dan Allah tidak menyukai setiap orang yang sombong dan membanggakan diri.” (QS. Al Hadid: 22-23)
Aku juga tahu ketidaktahuan kita terhadap apa yang akan menimpa diri kita, dengan diikuti kenyataan bahwa apapun itu yang akan menimpa kita telah ditetapkan oleh Tuhan, dan Dia tidak sedang melempar dadu atas kehidupan kita, dan bahwa yang menetapkan takdir itu adalah Tuhan yang Maha Pengasih dan Maha Penyayang, yang bahkan jika kita berjalan mendekati-Nya, Dia akan berlari menjemput kita, seharusnya mampu membuat diri kita tenang, tidak terlampau bersedih hati maupun terlalu bergembira. Menghadapi segalanya dengan penuh kesyukuran dan kesabaran. Betapa sebuah kebahagiaan dalam hidup ini!
Selain itu, kita tahu, ada satu mesin pengubah takdir, ialah DOA. Dan tidak seorang pun yang memiliki iman yang baik, kecuali ia akan mengiringi doa-doanya dengan ikhtiar, dengan amal perbuatan, usaha yang nyata. Lalu menyerahkan apapun hasilnya pada kehendak-Nya. Itulah tawakal. Aku yakin orang itu akan menjalani hidupnya tanpa kegelisahan akan nasib dirinya.
Pertanyaannya, mengapa aku tidak demikian?
Masalahnya kemudian adalah, pada titik ini, pada momen ini, aku menyadari sisi buruk diriku.
-
-
-
-
Jika doa adalah mesin pengubah takdir, bukankah seharusnya aku shalat dengan baik? Aku tidak berpikir telah cukup baik tentang shalatku. Padahal aku juga termasuk anggota tim Percaya Kekuatan Doa. Sebuah ironi yang aku bikin sendiri. Lalu aku sedihkan sendiri.
Bahkan seandainya kita tidak berdoa, dan katakanlah, hanya memasrahkan segalanya pada apa yang telah tertulis, bukankah kita masih harus beramal? Bahkan takdir, bukanlah sesuatu yang berdiri sendiri, mengikat bersamanya adalah Hukum Sebab-Akibat.
Ketika aku flashback kembali pada hari-hariku yang telah lalu, aku menemukan betapa banyak saat aku menjalani aktivitasku dengan tidak disertai kesungguhan. Betapa banyak hal yang kuperbuat tanpa mengupayakan yang terbaik dari diriku.
Aku mungkin tidak akan mendapat hasil yang lebih baik, tapi setidaknya, aku tahu bahwa aku telah menggugurkan bagian sebab yang negatif sebelum memperoleh akibat, “sebab aku kurang bersungguh-sungguh, akibatnya hanya inilah hasil yang kuperoleh, tidak cukup banyak untukku merasa percaya diri”.
Dengan sebab kesungguhan, setidaknya aku akan lebih mampu menghargai diriku dan berkata, “Barakallah, diriku! Kamu telah berusaha dengan baik.”
Tapi dengan begitu banyak kekurangsungguhan, masihkah aku kebagian barakah?
Untuk hal-hal yang belum terjadi aku bertanya, “am I chasing rainbow?” dan bersedih.
Dan, pada saat aku menyadari bahwa jawabannya tidak bisa kujawab sendiri, Dia memberikan jawaban melalui lisan seseorang, “Bahkan ketika kamu tidak tahu apakah akan berhasil atau tidak, kamu tahu bahwa kamu tidak sedang mengupayakan sesuatu yang buruk, bukan? Selagi kamu tahu itu baik, dan kedua orangtuamu meridloimu, insya Allah Dia pun ridlo. Selanjutnya adalah, apakah kamu akan ridlo pada apapun ketetapan-Nya nanti?”
Lalu, sampai kapankah aku harus mengupayakannya? Apakah tanda untuk berhenti?
“Bukankah kamu belum lelah? Kenapa berbicara tentang berhenti ketika dalam hatimu masih ingin melanjutkan? Mari kita bicara tentang “berhenti” ketika “ingin” itu telah muncul dalam dirimu.”
Bagaimana jika yang muncul bukan “ingin”, tapi hanya “ragu”?
“Karena setiap kita akan dimudahkan jalan menuju takdir kita, jika sesuatu itu bukan bagian dari takdirmu, Dia akan memalingkan hatimu pada sesuatu yang menjadi jalanmu, entah dengan cara apa. Mungkin kesempatan-kesempatan lain yang biasanya tidak kamu acuhkan, tiba-tiba begitu menarik hatimu. Atau, sesuatu hal lain yang tidak pernah terlintas, begitu saja muncul dan kamu tidak dapat berbuat kecuali mengikutinya. Kita tidak tahu. Maka, selagi hatimu masih belum berpaling dari sesuatu itu, yakini saja sesuatu itu mungkin takdirmu. Sekarang, terlepas dari modal awal yang kamu miliki, upayakan sebab terbaik untuk menjemput takdir itu.”
Pada akhirnya, aku percaya pada takdir Tuhan. Seperti juga aku percaya bahwa kehidupan yang tenang hanya berlaku bagi orang dengan keimananan yang baik. Dan ia yang beriman dengan baik akan berdoa dengan baik dan melakukan segala amalnya dengan totalitas dirinya. Ia akan menjalani hidupnya tanpa penyesalan.
Dan kupikir, Kermit adalah salah satu yang melakukan amalnya dengan sungguh-sungguh (meskipun sepertinya ia bukan anggota tim Percaya Takdir dan Kekuatan Doa). Lihatlah kepercayaan dirinya dalam Rainbow Connection!
0 komentar:
Posting Komentar