Seberapa sering kita menyusun rencana, tapi seketika digagalkan oleh takdir?
Ilustrasi 3D sars-cov-2. Gambar diambil dari Forbes
Aku menghitung gaji bulananku, berpikir akan menyisihkan sekian persen tiap bulan sehingga pada awal Juni aku akan memiliki sekian rupiah yang akan kugunakan untuk suatu hal.
Teman kamarku memesan penginapan untuk kedua orangtuanya jauh hari sebelum wisudanya pada pertengahan April, sebuah upaya mendapat tempat di dekat kampus dengan harga miring.
Temanku yang lain berencana menyelenggarakan resepsi pernikahan pada akhir Maret tahun ini dan mulai menyebar undangan H-14 hari.
Anak-anak panduanku di asrama berencana pulang ke rumah mereka (yang mayoritas di luar Jawa) saat libur Ujian Nasional. Mereka merengek agar diijinkan pulang sejak hari Jumat sebelum pekan UN.
Yang terjadi..
Sejak Senin lalu, satu per satu anak-anak meninggalkan asrama. Kini, Rabu, hanya tersisa tiga anak, mereka yang memutuskan, lebih tepatnya diputuskan oleh orangtua mereka, untuk menetap di asrama. Wabah Covid-19 ulah Sars-Cov-2 menjadi alasan dilaksanakannya program belajar di rumah. Meskipun, pihak sekolah dan asrama menyarankan anak-anak tidak dibiarkan pulang sendiri dengan kendaraan umum, dan lebih baik menetap di asrama, mereka tetap pulang. Sebagian ke rumah sanak saudara di Jawa, sebagian dijemput orangtua dengan kendaraan pribadi, dan sebagian kecil, dengan diiringi bismillah, pulang sendiri dengan kendaraan umum.
Dengan alasan yang sama, Covid-19, wisuda kawanku ditunda hingga waktu yang belum bisa ditentukan. Sedangkan pernikahan kawanku yang lain sepertinya harus mencukupkan dengan akad dan menunda resepsi hingga wabah mereda. Dan aku? Sepertinya pendapatan bulananku menurun karena jadwal mengajar ikut libur seiring wabah yang mulai menyebar. Demikian, sekian rupiah di bulan Juni sepertinya harus kupikirkan ulang. Juga kami mempersiapkan diri untuk melalui Ramadhan dan Idul Fitri tanpa keluarga tercinta..
Pandemi global ini pasti telah mengubah sangat banyak rencana yang disusun manusia...
Sejujurnya, selain berharap wabah ini segera mereda supaya tidak bertambah lagi korban, aku juga berharap simulasi yang menyatakan bahwa puncak wabah akan terjadi pada bulan Ramadhan tidak menjadi kenyataan, sehingga bulan Ramadhan dan Idul Fitri akan tetap semeriah tahun-tahun yang sudah. Seumur hidupku, aku tinggal di negara dengan Muslim sebagai mayoritas penduduknya. Banyak di antara mereka bukan Muslim yang taat, tapi tetap saja Ramadhan tidak pernah berlalu sebagai bulan yang biasa-biasa saja, dan Idul Fitri selalu penuh kegembiraan, bahkan meski dalam suasana banjir seperti pada tahun 2005.
Karena iman kami yang masih amat lemah, sehingga tidak bisa beribadah sama khusyuknya dalam apapun keadaannya, aku mengharapkan Ramadhan yang jauh dari isu wabah. Saat Ramadhan tiba, orang-orang tak lagi khawatir soal Covid-19 dan hanya khawatir tentang target-target ibadahnya, semoga.
Di sisi lain, aku memikirkan, apakah ini perasaan Saudara-Saudari kami di wilayah konflik? Setiap saat adalah teror.
*****
Pada awal Februari, aku masih mendengar orang-orang berbincang tentang virus ini, berkata seolah orang Indonesia kebal dan reseptor virus tersebut hanya ada pada orang-orang Chinese dan Kauka. Pada awal Maret, masih aku dengar orang-orang berbicara dalam nada meremehkan bahwa virus ini hanya seperti flu biasa, sedikit lebih berat, tapi tidak berbahaya, selama daya tahan tubuh kita baik. Beberapa menjadikan virus ini sebagai bahan candaan. Hari ini, semua orang memandangi update berita Covid-19 di Indonesia.
Memang selamanya, keangkuhan meskipun sedikit, tidak pernah menempati tempat yang sama dengan kata baik.
0 komentar:
Posting Komentar