Selasa, 07 Januari 2020

Ratapan Christina Rossetti


Why were you born when the snow was falling?
You should have come to the cuckoo’s calling,
Or when grapes are green in the cluster,
Or, at least, when lithe swallows muster
For their far off flying
From summer dying

Kenapa kau lahir saat salju membuat langit bungkuk?
Andai saja kau tiba ketika musim dekut burung kukuk
Atau saat buah-buah anggur di tandan meranum hijau
Atau, setidaknya, saat kawanan burung camar berkicau
Sehabis menempuh perjalanan jauh yang ganas
Menyelamatkan diri dari serangan musim panas

Why did you die when the lambs were cropping?
You should have died at the apples’ dropping,
When the grasshopper comes to trouble,
And the wheat-fields are sodden stubble,
And all winds go sighing
For sweet things dying

Kenapa kau mati saat bulu-bulu domba dipangkas?
Andai saja kau pergi ketika buah-buah apel ranggas
Atau saat gerombolan belalang berubah jadi masalah
Dan ladang gandum semata hamparan jerami basah
Dan napas angis berembus sangat berat
Sebab semua hal indah tiba-tiba sekarat

A Dirge - Christina Rossetti
(diterjemahkan oleh M. Aan Mansyur/ @hurufkecil)



Banyak dari kita suka bertanya, saat seseorang yang masih muda meninggal dunia, terlebih jika itu seseorang yang kita pernah mengenalnya, pernah bersinggungan dengannya; 

Mengapa ia pergi?

Sulit untuk tidak bergumam, meski hanya dalam hati, ia masih begitu muda..

Kalian yang pernah mengalami, pasti memahami. Rasanya bercampuraduk. Apakah itu kesedihan, kehilangan, keterkejutan, atau sebenarnya hanyalah tumpukan ketakutan.. Sebab ternyata kematian itu datang begitu saja, begitu tiba-tiba.

Seperti lebih mudah jika yang pergi seorang renta; yahhh, ia memang sudah tua dan pesakitan. Tapi, kenyataan bahwa yang pergi dari dunia adalah seorang yang masih belia, begitu muda, dalam puncak kejayaannya. Saat harapan-harapan, cita-cita, dan impian melekat pada dirinya. Di hadapannya ada jalan-jalan. Sayangnya, ia tak memiliki waktu.

Seorang yang mati muda, seperti seseorang yang datang di musim yang buruk dan pergi justru saat musim membaik. Ia tak menikmati apapun. Lebih mudah andai ia datang saat musim membaik, memeroleh segala kebaikan dari masa itu, lalu pergi saat musim memburuk. Seseorang mungkin akan tetap merasa kehilangan, tapi setidaknya tidak ada yang akan menyesalinya, sebab memang tak ada lagi yang layak diharapkan dari masa itu, dan pula orang-orang tahu ia telah mendapatkan sesuatu saat pergi.

Mungkin hal itulah yang ingin diungkapkan Rossetti melalui puisinya di atas. Ia memilih kata-kata yang manis, juga perumpamaan yang manis. Saya sangat menyukai bagaimana Rossetti mampu mengungkapkan perasaan yang dalam melalui puisi-puisinya. Sayangnya, saya pikir, terlalu banyak ratapan, seandainya ia menggunakan kemampuannya itu untuk mengungkapkan perasaan-perasaan yang lebih positif, seperti syukur misalnya.

Adakah yang tahu pasti musim terbaik bagi seseorang?

Tidak ada seorang pun yang tahu apa pastinya yang telah diperoleh seseorang dalam hidupnya, baik singkat ataupun lama usianya dalam pandangan kita; manusia.

Bagi orang-orang terdekat yang ditinggalkan, mengikhlaskannya pergi bukan hal mudah. Mengikhlaskan bisa dimulai dengan tidak mempertanyakan takdir Tuhan meski dalam hati, cukup dengan perkataan; Sesungguhnya kita milik Tuhan, dan hanya kepada-Nya kita kembali.

Bagi orang-orang di luar lingkaran terdalam, mungkin beberapa merasakan kehilangan, kedukaan, tapi mungkin juga hanya seperti yang dideskripsikan Truman Capote dalam In Cold Blood; suatu sensasi horor yang dangkal, yang diperdalam oleh ketakutan pribadi (hal. 108).

Yang muda pun tidak terlepas dari bayang-bayang kematian.

0 komentar:

Posting Komentar