Sabtu, 06 Juli 2019

Bagaimana Tepatnya Aku Melihat?



Sering kali, bahkan setiap kali, seorang Muslim berbicara di depan khalayak, ia membukanya dengan pujian kepada Allah atas segala nikmat-Nya, karunia-Nya, hidayah-Nya… dan aku bertanya-tanya, sesungguh apakah aku merasai nikmat, karunia, hidayah itu? Sesungguh apakah aku menghayati segala kebaikan yang Allah berikan padaku?

Aku mempertanyakan diriku, hatiku, keimananku, kebersyukuranku selama beberapa waktu.

Sering juga aku dengar, bahkan akupun meniru mengucapkannya setiap kali aku punya kesempatan untuk berbicara di sebuah forum, bahwa Allah telah memberikan kita kenikmatan yang tiada dapat kita hitung.. Sangat banyak.. Tak terhingga.. Lalu aku akan bilang, nikmat kesehatan, nikmat udara, nikmat bahwa tubuh kita masih bekerja dengan normal, bahwa kita masih bisa bernafas, bisa melihat, mendengar, melangkah…

Tapi kadang semua itu terdengar formal di telingaku, terasa tawar di lidahku.

Sampai suatu siang yang terik, aku pulang dari kampus mengendarai sepeda motor yang kupinjam dari seorang teman serumah. Dan ketika aku tiba di depan rumah, lalu memarkirkan motor, lalu aku turun sambil mengangkat helmku, hey, kenapa helmku berwarna kuning? Kenapa rumahku berwarna hijau? Kenapa pohon-pohon itu berwarna coklat?

Aku terdiam sejenak, berdiri mengamati motor yang tadi kunaiki, lalu menatap langit, lalu halaman bersemen… Betapa menakjubkannya semua ini. Masya Allah! Sangat teliti, sangat detil Tuhan menciptakan semua sistem di dunia ini.

Aku melihat lagi helm kuningku. Ya, aku bisa menyebutnya kuning karena manusia bersepakat itu sebagai warna kuning. Warna? Itu juga kesepakatan. Warna adalah apa yang kita sebut cahaya tampak. Cahaya tampak? Ia hanya sebagian dari rentang spektrum cahaya. Di luar spektrum itu, mata kita tak bisa menangkapnya, dan karena mata adalah indera penglihatan, maka cahaya yang tak bisa ditangkap oleh mata kita, bisa kita sebut cahaya tidak tampak. Kita bisa mengatakan daun berwarna hijau, atau laut berwarna biru, yah, karena dan hanya karena mereka memantulkan cahaya pada spektrum yang dapat ditangkap oleh indera penglihatan kita. Siapa yang membuat aturan tentang apa yang bisa dilihat dan tidak bisa dilihat? Tuhan, Allah SWT.

Untuk pertama kalinya, aku sangat takjub dengan keluarbiasaan melihat. Sesuatu yang kulakukan setiap hari tanpa berpikir.

Inilah mengapa aku harus sangat bersyukur Allah mengizinkanku dapat melihat.

Aku jadi teringat materi Fisiologi Mikrobia yang pernah kuambil, bakteri memiliki mekanisme kemotaksis, jadi mereka dapat bergerak sebagai respon terhadap senyawa kimia tertentu…. dan begitulah mereka mengenali lingkungan…. bertahan hidup. Mereka tak memiliki indera seperti yang kita, manusia, miliki, tapi Allah memberikan apa yang dibutuhkan oleh mereka untuk hidup (untuk melalui proses hidupnya). Mereka mungkin tidak mengenal hijau ataupun merah, tapi itulah dunia mereka.

Itulah batas indera mereka.

Mungkin benar, seorang yang tidak memiliki penglihatan sejak lahir, ia tidak begitu menderita jika bukan karena orang lain mengatakan bahwa dunia memiliki warna. Lantas, ia mulai bertanya apa itu warna. Satu kata asing yang berada di luar jangkauan indera mereka.

Aku tidak mengatakan bahwa manusia cukup dengan empat indera. Kenyataan bahwa manusia pada umumnya memiliki lima indera menegaskan bahwa manusia memerlukan kelimanya untuk dapat menjalani hidup, menunaikan hak dan kewajibannya di dunia ini dengan sempurna, yang ingin kukatakan adalah, seperti yang pernah ibuku katakan bertahun lalu, seorang yang bersyukur tidak pantas dikasihani.

Aku bersyukur atas kelima indera yang Allah karuniakan dalam hidupku. Mungkin ada “sesuatu" di luar sana, di luar jangkauan inderaku, sesuatu yang indah, mungkin lebih indah dari warna, tapi aku tahu, aku tidak memerlukan “sesuatu” itu untuk bisa menjalani hidup, untuk bisa menjadi sebaik-baik hamba-Nya.

Dia tahu yang aku perlukan untuk bekal di dunia, dan bekal menuju akhirat, maka sungguh aku sangat ingin menjadi hamba-Nya yang senantiasa merasa cukup atas apa-apa yang Allah hadirkan dalam hidupku, sehingga tidak ada keluh kesah, perasaan kurang, perasaan tidak mampu, lalu aku menjadi hamba yang tumpul, karena saat itu terjadi, aku sungguh patut dikasihani.

0 komentar:

Posting Komentar