Sering kali, bahkan setiap kali, seorang
Muslim berbicara di depan khalayak, ia membukanya dengan pujian kepada Allah
atas segala nikmat-Nya, karunia-Nya, hidayah-Nya… dan aku bertanya-tanya,
sesungguh apakah aku merasai nikmat, karunia, hidayah itu? Sesungguh apakah aku
menghayati segala kebaikan yang Allah berikan padaku?
Aku mempertanyakan diriku, hatiku,
keimananku, kebersyukuranku selama beberapa waktu.
Sering juga aku dengar, bahkan akupun
meniru mengucapkannya setiap kali aku punya kesempatan untuk berbicara di
sebuah forum, bahwa Allah telah memberikan kita kenikmatan yang tiada dapat
kita hitung.. Sangat banyak.. Tak terhingga.. Lalu aku akan bilang, nikmat
kesehatan, nikmat udara, nikmat bahwa tubuh kita masih bekerja dengan normal,
bahwa kita masih bisa bernafas, bisa melihat, mendengar, melangkah…
Tapi kadang semua itu terdengar formal di
telingaku, terasa tawar di lidahku.
Sampai suatu siang yang terik, aku pulang
dari kampus mengendarai sepeda motor yang kupinjam dari seorang teman serumah. Dan ketika aku tiba di depan rumah, lalu
memarkirkan motor, lalu aku turun sambil mengangkat helmku, hey, kenapa helmku berwarna kuning? Kenapa
rumahku berwarna hijau? Kenapa pohon-pohon itu berwarna coklat?
Aku terdiam sejenak, berdiri mengamati
motor yang tadi kunaiki, lalu menatap langit, lalu halaman bersemen… Betapa
menakjubkannya semua ini. Masya Allah! Sangat teliti, sangat detil Tuhan menciptakan semua sistem di dunia ini.
Aku melihat lagi helm kuningku. Ya, aku
bisa menyebutnya kuning karena
manusia bersepakat itu sebagai warna
kuning. Warna? Itu juga kesepakatan. Warna adalah apa yang kita sebut cahaya
tampak. Cahaya tampak? Ia hanya sebagian dari rentang spektrum cahaya. Di luar
spektrum itu, mata kita tak bisa menangkapnya, dan karena mata adalah
indera penglihatan, maka cahaya yang tak bisa ditangkap oleh mata kita, bisa
kita sebut cahaya tidak tampak. Kita bisa mengatakan daun berwarna hijau, atau
laut berwarna biru, yah, karena dan hanya karena mereka memantulkan cahaya pada
spektrum yang dapat ditangkap oleh indera penglihatan kita. Siapa yang membuat
aturan tentang apa yang bisa dilihat dan tidak bisa dilihat? Tuhan, Allah SWT.
Untuk pertama kalinya, aku sangat takjub
dengan keluarbiasaan melihat. Sesuatu
yang kulakukan setiap hari tanpa berpikir.
Inilah mengapa aku harus sangat bersyukur
Allah mengizinkanku dapat melihat.
Aku jadi teringat materi Fisiologi Mikrobia yang
pernah kuambil, bakteri memiliki mekanisme kemotaksis, jadi mereka dapat
bergerak sebagai respon terhadap senyawa kimia tertentu…. dan begitulah mereka mengenali
lingkungan…. bertahan hidup. Mereka tak memiliki indera seperti yang kita,
manusia, miliki, tapi Allah memberikan apa yang dibutuhkan oleh mereka untuk
hidup (untuk melalui proses hidupnya). Mereka mungkin tidak mengenal hijau
ataupun merah, tapi itulah dunia mereka.
Itulah batas indera mereka.
Mungkin benar, seorang yang tidak memiliki
penglihatan sejak lahir, ia tidak begitu menderita jika bukan karena orang lain
mengatakan bahwa dunia memiliki warna. Lantas, ia mulai bertanya apa itu warna.
Satu kata asing yang berada di luar jangkauan indera mereka.
Aku tidak
mengatakan bahwa manusia cukup dengan empat indera. Kenyataan bahwa manusia
pada umumnya memiliki lima indera menegaskan bahwa manusia memerlukan kelimanya
untuk dapat menjalani hidup, menunaikan hak dan kewajibannya di dunia ini
dengan sempurna, yang ingin kukatakan adalah, seperti yang pernah ibuku katakan bertahun lalu, seorang yang bersyukur tidak pantas dikasihani.
Aku bersyukur atas kelima indera yang Allah
karuniakan dalam hidupku. Mungkin ada “sesuatu" di luar sana, di luar jangkauan
inderaku, sesuatu yang indah, mungkin lebih indah dari warna, tapi aku tahu,
aku tidak memerlukan “sesuatu” itu untuk bisa menjalani hidup, untuk bisa
menjadi sebaik-baik hamba-Nya.
Dia tahu yang aku perlukan untuk bekal di
dunia, dan bekal menuju akhirat, maka sungguh aku sangat ingin menjadi
hamba-Nya yang senantiasa merasa cukup atas apa-apa yang Allah hadirkan dalam
hidupku, sehingga tidak ada keluh kesah, perasaan kurang, perasaan tidak mampu,
lalu aku menjadi hamba yang tumpul, karena saat itu terjadi, aku sungguh patut
dikasihani.
0 komentar:
Posting Komentar