Sabtu, 05 Januari 2019

art is a lie... (2)

“We all know that art is not truth. Art is a lie that makes us realize truth, at least the truth that is given us to understand. The artist must know the manner whereby to convince others of the truthfulness of his lies.”
– Pablo Picasso

Di sekolah saya, untuk waktu yang cukup lama, hanya ada satu mata pelajaran seni, yaitu seni rupa. Dan untuk waktu yang lama pula, hanya ada satu guru yang mengampu pelajaran tersebut, ialah beliau Pak Guru yang “bergelar”. 

Awalnya, saya kira merupakan sebuah keberuntungan, tahun ketika saya memasuki SMA, seorang guru seni rupa baru datang. Beliau masih muda, dan jelas, idealisme metode pembelajaran seorang sarjana pendidikan masih melekat pada diri beliau. Beliau mengajar separuh kelas sepuluh (X.5-X.8), salah satunya adalah kelas saya, X.7, maka mimpi buruk pelajaran seni rupa bersama Sang Legenda dapat kami tunda...

Sayangnya, penangguhan waktu terkadang bisa menjadi sesuatu yang lebih buruk.

Dan kenaikan kelas pun datang…. Betapa menakjubkannya rencana Tuhan, beliau Sang Legenda menjadi wali kelas saya!

Tidak banyak yang dapat saya ingat dengan pertemuan-pertemuan awal selain rasa deg-deg-an, tegang, takut salah, setiap senin pagi. Seni rupa adalah mata pelajaran di mana kami belajar teori di kelas, mendapat tugas untuk dikerjakan di rumah, dan pekan selanjutnya, kami harus meletakkan tugas kami di atas meja, lalu beliau berkeliling, bertanya, dan berkomentar. Kadang beliau menghendaki kami mengajukan pertanyaan, semacam sesi konsultasi karya, tapi tidak jarang kami merasa salah ucap dan berakhir pada…yah, begitulah…

Hingga pada suatu senin, setelah menjelaskan teori tentang teknik plakat dan aquarel, balance, serta lighting, beliau mengajak kami keluar kelas dan memilih satu objek untuk kami buat sketsanya. Jika beliau acc, kami bisa melanjutkan dengan mewarnainya di rumah, menjadi lukisan yang sesungguhnya.

Saya memilih sebuah tanaman dalam pot yang pecah sebagai objek. Saya berusaha menerapkan teori yang beliau sampaikan di kelas. Dan pada senin berikutnya, saya datang dengan… 



Saya berdoa, beliau mengabaikan gambar saya dan terus berkeliling. Saya harap beliau akan berhenti di meja lain, tapi begitulah…beliau mengangkat buku gambar saya, menunjukkannya pada seisi kelas dan berkata,”Ini contoh teknik plakat yang saya sampaikan minggu lalu.”

Sungguh saya merasa lega dan berbangga mendapat "pujian" kecil tersebut.

"Hanya dan hanya pot-nya." lanjut beliau, mengakhiri segala kebanggaan saya.

0 komentar:

Posting Komentar